Selasa, 14 Januari 2014

Suku Balantak


Catatan: Bab III ‘Kebudayaan Suku Balantak”  merupakan bagian dari pembahasan dalam buku yang berjudul “Suku Balantak: Sejarah, Kebudayaan dan Filsafatnya” yang sedang digarap oleh M. Muharli Mua, S.Fils (Sedang menyelesaikan tesis pada Pascasarjana UGM Yogyakarta). Penulis sengaja tidak memuat secara lengkap dan mendetail tentang kebudayaan suku Balantak dalam blog ini. Penulis hanya memberikan pembahasan ini secara garis besar saja. Apabila anda tertarik mendalami kebudayaan suku Balantak, sangat terbuka lebar untuk berdiskusi.

KEBUDAYAAN SUKU BALANTAK
(M. Muharli Mua, S.Fils)

Kata  kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhaya, yang memiliki bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dengan demikian, ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Memang ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata  majemuk budi-daya yang berarti daya dan budi. Mereka membedakan budaya sebagai daya dan budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu.[1] Menurut Prof. Dr. Koenjtoroningrat, kebudayaan mempunyai tujuh unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, system pengetahuan, organisasi sosial, system peralatan hidup dan teknologi, system mata pencaharian hidup, system religi dan kesenian.[2]
                Ketujuh unsur tersebut di atas terdapat pula dalam kebudayaan suku Balantak. Oleh karena itu, penulis menguraikan kebudayaan suku Balantak dengan mengacu pada unsur-unsur kebudaaan yang telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Koenjtoroningrat (antropolog Indonesia) kemudian mengembangkannya dengan membuat uraian-uraian dalam bentuk spesifikasi dari masing-masing unsur tersebut.

1.   Bahasa
Bahasa adalah system lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.[3] Definisi ini mirip dengan dengan apa yang dikatakan Lyons, menurutnya bahasa adalah most of them hare taken the views that languages are system of simbols, designed, as it were, for the purpose of communication. Berdasarkan pendapat Lyons ini, dapat dikatakan bahwa bahasa harus bersistem, berwujud symbol yang kita lihat dan kita dengar dalam lambang, serta bahasa digunakan oleh masyarakan dalam berkomunikasi.[4] Oleh sebab itu, bahasa yang dipergunakan oleh suku Balantak adalah Bahasa Balantak.
Bahasa Balantak adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan di Semenanjung Timur Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia.[5] Dalam percakapan sehari-hari (berkomunikasi), orang Balantak menggunakan bahasa daerahnya itu dengan beragam dialek. Walau beragam dialek namun tetap masih saling mengerti dan memahami apa yang dikatakan. Masing-masing sub suku yang ada di Balantak memiliki dialeknya sendiri yakni Lo'on dengan dialek Lo'on, Bula dengan dialeknya, Ruurna (Buada) dengan dialeknya dan begitu pula dengan Batu Biring dan Nggoube. Sedangkan Masama atau Andio menggunakan bahasa tersendiri yakni percampuran antara bahasa Balantak dan Saluan yang oleh masyarakat suku Balantak disebut Baala atau campuran (mixed language).
Bahasa Balantak merupakan kelompok atau rumpun bahasa Loinang. Selain bahasa Balantak, bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun Loinang adalah bahasa Saluan dan bahasa Bobongko sedangkan bahasa Banggai merupakan kelompok bahasa tersendiri yakni kelompok Banggai. Dalam buku karya Hildred Geertz tentang “Indonesian Cultures and Communities” tercantum sebagai berikut: IX. Kelompok Loinang: Saluan, Bobongko dan Balantak.  IXa. Banggai.[6] Hal ini menegaskan bahwa Saluan dan Balantak yang notebene adalah penduduk asli Luwuk (saat ini) tergolong dalam satu rumpun bahasa yang sama dan berbeda dengan bahasa Banggai meskipun Banggai memiliki hubungan historis dengan Balantak dan Saluan.

2.   Sistem Mata Pencaharian Hidup
2.1.    Berburu (Molako’)
Pada zaman dahulu kala, berburu atau molako’ merupakan mata pencaharian orang Balantak. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman ke zaman, mata pencaharian ini sudah mulai hilang. Hal ini disebabkan karena orang Balantak sudah mengenal dan menggarap tanah untuk diolah. Dahulu kala, penduduk mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan (bau’), rusa (donga), kus-kus (kuse), burung (sapu’), ayam hutan (rowo’). Berburu atau molaku saat ini masih terdapat di desa-desa, akan tetapi bukan menjadi sebagai mata pencaharian pokok atau utama melainkan sebagai pekerjaan sambilan atau juga sebagai hobi berburu atau molako’.

2.2.    Nelayan
Penduduk atau masyarakat yang bermukim di pesisir pantai umumnya memiliki mata pencaharian menangkap ikan (nelayan). Hampir di setiap desa memiliki pelabuhan atau dermaga, antara lain ada pelabuhan di Bonebobakal dan Balantak dan ada juga dermaga di Sulubombong, Boras dan desa-desa lainnya. Hasil tangkapan ikan tersebut biasanya dijual baik melalui pasar ataupun dijual sendiri dengan menggunakan transportasi mobil, motor, sepeda, kapal, perahu atau perahu motor (katinting). Penduduk atau masyarakat suku Balantak menangkap ikan dengan pukat, bubuh (poloi, balangkang) atau dengan pancing. Namun umumnya, mereka menangkap ikan dengan pukat dan pancing (ba kololon). Akan tetapi tak jarang dijumpai pula, ada penduduk yang menangkap ikan dengan bubuh, tuba (ba tubele) atau mencari ikan saat air surut (ba lolongi). Ikan yang biasa ditangkap oleh penduduk antara lain: ikan tongkol, roa (tampai’), babara, cakalang, konting, kurita, ikan batu, dan lain sebagainya.

2.3.    Bertani (Mo’ale’)
Mata pencaharian pokok yang terbesar dalam masyarakat suku Balantak adalah bercocok tanam atau bertani. Bertani merupakan warisan nenek moyang turun-temurun kepada anak-anaknya. Dikatakan sebagai warisan karena berdasarkan amanah para leluhur tanah Balantak dengan pesan: Tiodaa Monsu’ani Tano (tiodaa: harus/musti, monsu’ani: menanami, tano’: tanah) secara harafiah berarti: Harus menanami tanah. Sejatinya, pesan ini mengandung makna yang amat sangat mendalam yakni manfaatkanlah tanah dengan bercocok tanam. Artinya janganlah sekali-kali membiarkan lahan menjadi kosong tanpa ditanami tanaman yang bermanfaat dan berguna bagi keberlangsungan hidup kita. Bagi masyarakat suku Balantak, tanah merupakan warisan kekayaan yang darinya dapat memberikan kehidupan. Dengan memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam dapat memberikan penghasilan dan makanan untuk kehidupan. Sebab sejak dahulu kala, nenek moyang orang Balantak sudah mengenal bercocok tanam. Maka tak heran lagi jika pesan moral ini selalu menggema dan membahana di hati setiap masyarakat suku Balantak. Hingga saat ini, pesan tersebut terpatri dalam jiwa masyarakat suku Balantak dan teraktualisasi dalam pemanfaatan tanah di wilayah suku Balantak.
            Hampir setiap rumah tangga memiliki tanah baik berupa ladang atau sawah. Sistem kepemilikan tanah dalam suku Balantak dikenal dengan tano’ku (tanah milik sendiri yang diperoleh dengan pembelian), tano poo obosan (tanah milik yang diperoleh dari pembagian harta) dan tano’ budel (tanah milik bersama).
Sistem bercocok tanam di ladang (poo ale’an) ada yang hanya ditanami beberapa kali kemudian berpindah tempat lagi, dan ada juga yang menetap. Biasanya tanah yang berada di bagian lereng gunung hanya dipergunakan sementara waktu kemudian ditinggalkan, sedangkan tanah yang tetap selalu dipakai adalah tanah yang berada di daerah subur dan tidak berbukit-bukit. Ada juga beberapa penduduk yang bertani di daerah pegunungan kemudian tinggal di kebunnya untuk beberapa hari. Adapun tanaman yang sering ditanam adalah padi, jagung, sayur-sayuran, rempah-rempah, ubi-ubian, pisang, buah-buahan, kelapa dan holtikultura lainnya.
Masyarakat suku Balantak dalam mengolah lahan pertanian baik sawah ataupun ladang menggunakan bajak (pajeko) namun seiring dengan perkembangan tekonologi zaman, saat ini sudah mulai menggunakan mesin traktor untuk mengolah sawah atau ladang. Pemakaian bajak atau pajeko menggunakan tenaga sepasang sapi sebagai penarik. Ladang-ladang yang berada di lereng gunung tidak menggunakan bajak untuk menanam padi melainkan dengan tongkat kayu atau biasa disebut dengan “tutudak” (sebatang kayu yang ditajami ujung). Alat-alat lain yang dipakai untuk mengolah tanah adalah cangkul (pacol).
Ketika mengolah tanah untuk ladang, keluarga batih merupakan inti dari satuan kerja pengelolaan lahan tersebut. Namun bila lahan ladang atau sawah tersebut besar maka memerlukan tenaga bantuan dari keluarga dekat atau kerabat dekat dengan system kerja sama yang dikenal dengan poo panda. Poo pandaa adalah system atau bentuk saling kerja sama secara gotong royong dengan berbalasan atau arisan tenaga. Poo pandaa ini dimaksudkan untuk saling membantu dalam pekerjaan agar cepat terselasaikan. Akan tetapi dalam sistem poo pandaa, orang yang telah kita bantu harus membalas jasa dengan bekerja di ladang/sawah kita. Dalam tradisi masyarakat Suku Balantak, system poo pandaa ini tidak mengenal imbalan uang  akan tetapi  dengan pemberian waktu dan tenaga kita. Sebagai contoh: Tuan A, B, C memiliki sawah atau ladang. Ketiganya memerlukan tenaga yang cukup untuk mengolah ladang/sawah tersebut. Maka Tuan A, B, C mengadakan kerja sama mengolah ladang atau sawah. Pertama-tama, B dan C bekerja di ladang A, kemudian A dan C bekerja di ladang B, lalu A dan B bekerja di ladang C. Inti dari system poo panda ini adalah saya bekerja pada orang lain dengan harapan orang lain bekerja pada saya. Makna dibalik system ini adalah adanya saling membantu atau tolong menolong satu dengan yang lain dan orang lain yang telah dibantu juga jangan lupa membalas kebaikan yang telah diberikan. Poo pandaa ini biasanya hanya berlaku dalam pekerjaan. Ketika ladang atau sawah seseorang sudah dikerjakan oleh orang lain (disebut: ni pandaa’mo) maka pemilik ladang/sawah harus membalas tenaga dari mereka yang telah bekerja (disebut: mongule’kon: mengembalikan). Apa yang dikembalikan? Yang dikembalikan adalah tenaga orang yang telah bekerja pada kita; kita mengembalikan tenaga mereka dengan memberikan tenaga kita untuk bekerja di ladang/sawah mereka. Sistem poo pandaa ini dapat dikatakan pula sebagai system gotong royong yang menuntut balas jasa. [Dalam tradisi Balantak ada pula system gotong royong tanpa pamrih yang disebut poo tulungi (saling membantu). System poo tulungi dilakukan dengan ikhlas tanpa imbalan atau balas jasa. System ini umumnya dilakukan pada saat duka dan pekerjaan membangun fasilitas umum]. Selain poo panda, adapula yang menyewa tenaga; adapula yang dikerjakan oleh orang lain dengan system bagi hasil

2.4.  Beternak (Mo’ayop)
            Dalam masyarakat suku Balantak, beternak atau mo’ayop merupakan pekerjaan sambilan saja atau bahkan hanya sebagai kesenangan saja. Hewan atau binatang ternak yang umumnya dikenal dalam masyarakat suku Balantak adalah berupa, sapi, ayam, bebek, kuda, angsa, dan babi. Ternak seperti kuda dan sapi umumnya dipakai sebagai pembantu tenaga kerja dan penarik gerobak. Bagi yang beragama Islam pun memelihara ternak tersebut kecuali babi dan anjing.
Di daerah Balantak, ternak-ternak seperti kuda dan sapi sangat membantu penduduk untuk mengolah lahan ladang atau sawah. Sedangkan ternak-ternak yang lain juga biasanya dijual dan dikonsumsi oleh pemilikinya. Di daerah ini juga memiliki pasar (Bonebobakal dan Balantak) yang menjual daging ternak atau bahkan para penjual sendiri yang langsung datang ke kampung-kampung untuk menjual daging ternak.

2.5.    Kerajinan
       Sejak dahulu kala, orang Balantak sudah mengenal kerajinan tangan berupa anyaman (anaman). Kerajinan tersebut berupa tikar (ampas) yang terbuat daun pandan berduri (lingkedeng); dari (tikar yang terbuat dari pelepah sagu). Selain itu, masyarakat Balantak pun membuat alat rumah tangga mereka sendiri dengan memanfaatkan alam (kayu, dll) untuk berbagai macam keperluan hidup. Mereka pun menganyam bubuh (polio, balangkang) yang terbuat dari bambu kecil (lambangan). Mereka pun memiliki ketrampilan menganyam bakul (basung) yang terbuat dari rotan (oe).
Akan tetapi, kerajinan-kerajinan tersebut hanya dapat dilakukan musiman atau sejauh diperlukan. Maka tidaklah mengherankan jika rasa cipta akan kerajinan ini sudah mulai berkurang. Hal ini disebabak karena kurangnya pengembangan dan perhatian pemerintah setempat untuk melestarikan dan memberikan keterampilan yang baik kepada mereka. Menurut hemat penulis, jika hal ini mendapat perhatian dari pihak pemerintah maka akan memberikan sumbangsi wisata pagi pemerintah daerah setempat.

Bersambung...........................


[1] Bdk. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, edisi revisi 2009), Hlm. 146
[2] Bdk. Ibid. hlm. 165
[3] Harimurti Kridalaksana, “Bahasa” dalam Kamus Linguistik, (Jakarta: PT Gramedia, 1993).
[4] Bdk. Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, cetakan kedua (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 1.
[5] Agung Tri Haryanta dan Eko Sujatmiko, “Bahasa Balantak” dalam Kamus Sosiologi, cet.1 (Surakarta: Aksara Sinergi Media, 2012)

[6] Hildred Geertz, Indonesian Cultures and Communities, terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FIS-UI, 1981), hlm. 114.

3 komentar:

  1. Thanks sob bacaan pagi ini, kira2 dimana bisa didapatkan bukux.

    ijin share yah...

    http://tongke1.blogspot.com

    BalasHapus
  2. I need your help ka, dimana sy bisa tau kelanjutan dari artikel ini?

    BalasHapus
  3. Dimana sy bisa dapat buku ini?

    BalasHapus