Catatan: Bab III ‘Kebudayaan
Suku Balantak” merupakan bagian dari
pembahasan dalam buku yang berjudul “Suku Balantak: Sejarah, Kebudayaan dan
Filsafatnya” yang sedang digarap oleh M. Muharli Mua, S.Fils (Sedang menyelesaikan tesis pada Pascasarjana UGM Yogyakarta). Penulis sengaja tidak memuat
secara lengkap dan mendetail tentang kebudayaan suku Balantak dalam blog ini.
Penulis hanya memberikan pembahasan ini secara garis besar saja. Apabila anda tertarik
mendalami kebudayaan suku Balantak, sangat terbuka lebar untuk berdiskusi.
KEBUDAYAAN SUKU BALANTAK
(M. Muharli Mua, S.Fils)
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhaya, yang memiliki bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dengan
demikian, ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan
akal”. Memang ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu
perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dan budi.
Mereka membedakan budaya sebagai daya dan budi yang berupa cipta, karsa dan
rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu.[1]
Menurut Prof. Dr. Koenjtoroningrat, kebudayaan mempunyai tujuh unsur yang dapat
ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah
bahasa, system pengetahuan, organisasi sosial, system peralatan hidup dan
teknologi, system mata pencaharian hidup, system religi dan kesenian.[2]
Ketujuh
unsur tersebut di atas terdapat pula dalam kebudayaan suku Balantak. Oleh
karena itu, penulis menguraikan kebudayaan suku Balantak dengan mengacu pada
unsur-unsur kebudaaan yang telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Koenjtoroningrat
(antropolog Indonesia) kemudian mengembangkannya dengan membuat uraian-uraian
dalam bentuk spesifikasi dari masing-masing unsur tersebut.
Bahasa
adalah system lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.[3]
Definisi ini mirip dengan dengan apa yang dikatakan Lyons, menurutnya bahasa
adalah most of them hare taken the views
that languages are system of simbols, designed, as it were, for the purpose of
communication. Berdasarkan pendapat Lyons ini, dapat dikatakan bahwa bahasa
harus bersistem, berwujud symbol yang kita lihat dan kita dengar dalam lambang,
serta bahasa digunakan oleh masyarakan dalam berkomunikasi.[4]
Oleh sebab itu, bahasa yang dipergunakan oleh suku Balantak adalah Bahasa Balantak.
Bahasa
Balantak adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan di Semenanjung
Timur Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia.[5]
Dalam percakapan sehari-hari (berkomunikasi), orang Balantak menggunakan bahasa
daerahnya itu dengan beragam dialek. Walau beragam dialek namun tetap masih
saling mengerti dan memahami apa yang dikatakan. Masing-masing sub suku yang
ada di Balantak memiliki dialeknya sendiri yakni Lo'on dengan dialek Lo'on, Bula dengan dialeknya, Ruurna (Buada) dengan dialeknya dan begitu pula dengan Batu Biring dan Nggoube. Sedangkan Masama atau
Andio menggunakan bahasa tersendiri yakni percampuran antara bahasa
Balantak dan Saluan yang oleh masyarakat suku Balantak disebut Baala atau
campuran (mixed language).
Bahasa
Balantak merupakan kelompok atau rumpun bahasa Loinang. Selain bahasa Balantak,
bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun Loinang adalah bahasa Saluan dan
bahasa Bobongko sedangkan bahasa Banggai merupakan kelompok bahasa tersendiri
yakni kelompok Banggai. Dalam buku karya Hildred Geertz tentang “Indonesian Cultures and Communities”
tercantum sebagai berikut: IX. Kelompok Loinang: Saluan, Bobongko dan
Balantak. IXa. Banggai.[6]
Hal ini menegaskan bahwa Saluan dan Balantak yang notebene adalah penduduk asli
Luwuk (saat ini) tergolong dalam satu rumpun bahasa yang sama dan berbeda
dengan bahasa Banggai meskipun Banggai memiliki hubungan historis dengan
Balantak dan Saluan.
2.
Sistem Mata
Pencaharian Hidup
2.1.
Berburu
(Molako’)
Pada
zaman dahulu kala, berburu atau molako’ merupakan mata pencaharian orang
Balantak. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman ke zaman, mata
pencaharian ini sudah mulai hilang. Hal ini disebabkan karena orang Balantak
sudah mengenal dan menggarap tanah untuk diolah. Dahulu kala, penduduk
mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan (bau’), rusa (donga), kus-kus
(kuse), burung (sapu’), ayam hutan (rowo’). Berburu atau molaku saat ini masih
terdapat di desa-desa, akan tetapi bukan menjadi sebagai mata pencaharian pokok
atau utama melainkan sebagai pekerjaan sambilan atau juga sebagai hobi berburu
atau molako’.
2.2.
Nelayan
Penduduk
atau masyarakat yang bermukim di pesisir pantai umumnya memiliki mata
pencaharian menangkap ikan (nelayan). Hampir di setiap desa memiliki pelabuhan
atau dermaga, antara lain ada pelabuhan di Bonebobakal dan Balantak dan ada
juga dermaga di Sulubombong, Boras dan desa-desa lainnya. Hasil tangkapan ikan
tersebut biasanya dijual baik melalui pasar ataupun dijual sendiri dengan
menggunakan transportasi mobil, motor, sepeda, kapal, perahu atau perahu motor
(katinting). Penduduk atau masyarakat suku Balantak menangkap ikan dengan
pukat, bubuh (poloi, balangkang) atau dengan pancing. Namun umumnya, mereka
menangkap ikan dengan pukat dan pancing (ba kololon). Akan tetapi tak jarang
dijumpai pula, ada penduduk yang menangkap ikan dengan bubuh, tuba (ba tubele)
atau mencari ikan saat air surut (ba lolongi). Ikan yang biasa ditangkap oleh
penduduk antara lain: ikan tongkol, roa (tampai’), babara, cakalang, konting,
kurita, ikan batu, dan lain sebagainya.
2.3.
Bertani (Mo’ale’)
Mata
pencaharian pokok yang terbesar dalam masyarakat suku Balantak adalah bercocok
tanam atau bertani. Bertani merupakan warisan nenek moyang turun-temurun kepada
anak-anaknya. Dikatakan sebagai warisan karena berdasarkan amanah para leluhur
tanah Balantak dengan pesan: Tiodaa Monsu’ani Tano (tiodaa: harus/musti,
monsu’ani: menanami, tano’: tanah) secara harafiah berarti: Harus menanami
tanah. Sejatinya, pesan ini mengandung makna yang amat sangat mendalam yakni
manfaatkanlah tanah dengan bercocok tanam. Artinya janganlah sekali-kali
membiarkan lahan menjadi kosong tanpa ditanami tanaman yang bermanfaat dan
berguna bagi keberlangsungan hidup kita. Bagi masyarakat suku Balantak, tanah
merupakan warisan kekayaan yang darinya dapat memberikan kehidupan. Dengan
memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam dapat memberikan penghasilan dan
makanan untuk kehidupan. Sebab sejak dahulu kala, nenek moyang orang Balantak
sudah mengenal bercocok tanam. Maka tak heran lagi jika pesan moral ini selalu
menggema dan membahana di hati setiap masyarakat suku Balantak. Hingga saat
ini, pesan tersebut terpatri dalam jiwa masyarakat suku Balantak dan
teraktualisasi dalam pemanfaatan tanah di wilayah suku Balantak.
Hampir setiap rumah tangga memiliki
tanah baik berupa ladang atau sawah. Sistem kepemilikan tanah dalam suku Balantak
dikenal dengan tano’ku (tanah milik sendiri yang diperoleh dengan pembelian),
tano poo obosan (tanah milik yang diperoleh dari pembagian harta) dan tano’
budel (tanah milik bersama).
Sistem
bercocok tanam di ladang (poo ale’an)
ada yang hanya ditanami beberapa kali kemudian berpindah tempat lagi, dan ada
juga yang menetap. Biasanya tanah yang berada di bagian lereng gunung hanya
dipergunakan sementara waktu kemudian ditinggalkan, sedangkan tanah yang tetap
selalu dipakai adalah tanah yang berada di daerah subur dan tidak
berbukit-bukit. Ada juga beberapa penduduk yang bertani di daerah pegunungan
kemudian tinggal di kebunnya untuk beberapa hari. Adapun tanaman yang sering
ditanam adalah padi, jagung, sayur-sayuran, rempah-rempah, ubi-ubian, pisang,
buah-buahan, kelapa dan holtikultura lainnya.
Masyarakat
suku Balantak dalam mengolah lahan pertanian baik sawah ataupun ladang
menggunakan bajak (pajeko) namun seiring dengan perkembangan tekonologi zaman,
saat ini sudah mulai menggunakan mesin traktor untuk mengolah sawah atau
ladang. Pemakaian bajak atau pajeko menggunakan tenaga sepasang sapi sebagai
penarik. Ladang-ladang yang berada di lereng gunung tidak menggunakan bajak
untuk menanam padi melainkan dengan tongkat kayu atau biasa disebut dengan
“tutudak” (sebatang kayu yang ditajami ujung). Alat-alat lain yang dipakai
untuk mengolah tanah adalah cangkul (pacol).
Ketika
mengolah tanah untuk ladang, keluarga batih merupakan inti dari satuan kerja
pengelolaan lahan tersebut. Namun bila lahan ladang atau sawah tersebut besar
maka memerlukan tenaga bantuan dari keluarga dekat atau kerabat dekat dengan
system kerja sama yang dikenal dengan poo panda. Poo pandaa adalah system atau bentuk saling kerja sama secara
gotong royong dengan berbalasan atau arisan tenaga. Poo pandaa ini dimaksudkan untuk saling membantu dalam pekerjaan
agar cepat terselasaikan. Akan tetapi dalam sistem poo pandaa, orang yang telah kita bantu harus membalas jasa dengan
bekerja di ladang/sawah kita. Dalam tradisi masyarakat Suku Balantak, system poo pandaa ini tidak mengenal imbalan
uang akan tetapi dengan pemberian waktu dan tenaga kita.
Sebagai contoh: Tuan A, B, C memiliki sawah atau ladang. Ketiganya memerlukan
tenaga yang cukup untuk mengolah ladang/sawah tersebut. Maka Tuan A, B, C
mengadakan kerja sama mengolah ladang atau sawah. Pertama-tama, B dan C bekerja
di ladang A, kemudian A dan C bekerja di ladang B, lalu A dan B bekerja di
ladang C. Inti dari system poo panda ini adalah saya bekerja pada orang lain
dengan harapan orang lain bekerja pada saya. Makna dibalik system ini adalah
adanya saling membantu atau tolong menolong satu dengan yang lain dan orang
lain yang telah dibantu juga jangan lupa membalas kebaikan yang telah diberikan.
Poo pandaa ini biasanya hanya berlaku
dalam pekerjaan. Ketika ladang atau sawah seseorang sudah dikerjakan oleh orang
lain (disebut: ni pandaa’mo) maka pemilik ladang/sawah harus membalas tenaga
dari mereka yang telah bekerja (disebut: mongule’kon: mengembalikan). Apa yang
dikembalikan? Yang dikembalikan adalah tenaga orang yang telah bekerja pada
kita; kita mengembalikan tenaga mereka dengan memberikan tenaga kita untuk
bekerja di ladang/sawah mereka. Sistem poo
pandaa ini dapat dikatakan pula sebagai system gotong royong yang menuntut
balas jasa. [Dalam tradisi Balantak ada pula system gotong royong tanpa pamrih
yang disebut poo tulungi (saling membantu). System poo tulungi dilakukan dengan
ikhlas tanpa imbalan atau balas jasa. System ini umumnya dilakukan pada saat
duka dan pekerjaan membangun fasilitas umum]. Selain poo panda, adapula yang
menyewa tenaga; adapula yang dikerjakan oleh orang lain dengan system bagi
hasil
2.4. Beternak
(Mo’ayop)
Dalam
masyarakat suku Balantak, beternak atau mo’ayop merupakan pekerjaan sambilan
saja atau bahkan hanya sebagai kesenangan saja. Hewan atau binatang ternak yang
umumnya dikenal dalam masyarakat suku Balantak adalah berupa, sapi, ayam,
bebek, kuda, angsa, dan babi. Ternak seperti kuda dan sapi umumnya dipakai
sebagai pembantu tenaga kerja dan penarik gerobak. Bagi yang beragama Islam pun
memelihara ternak tersebut kecuali babi dan anjing.
Di daerah
Balantak, ternak-ternak seperti kuda dan sapi sangat membantu penduduk untuk
mengolah lahan ladang atau sawah. Sedangkan ternak-ternak yang lain juga
biasanya dijual dan dikonsumsi oleh pemilikinya. Di daerah ini juga memiliki
pasar (Bonebobakal dan Balantak) yang menjual daging ternak atau bahkan para
penjual sendiri yang langsung datang ke kampung-kampung untuk menjual daging
ternak.
2.5.
Kerajinan
Sejak dahulu
kala, orang Balantak sudah mengenal kerajinan tangan berupa anyaman (anaman). Kerajinan tersebut berupa tikar
(ampas) yang terbuat daun pandan
berduri (lingkedeng); dari (tikar
yang terbuat dari pelepah sagu). Selain itu, masyarakat Balantak pun membuat
alat rumah tangga mereka sendiri dengan memanfaatkan alam (kayu, dll) untuk
berbagai macam keperluan hidup. Mereka pun menganyam bubuh (polio, balangkang)
yang terbuat dari bambu kecil (lambangan).
Mereka pun memiliki ketrampilan menganyam bakul (basung) yang terbuat dari rotan (oe).
Akan
tetapi, kerajinan-kerajinan tersebut hanya dapat dilakukan musiman atau sejauh
diperlukan. Maka tidaklah mengherankan jika rasa cipta akan kerajinan ini sudah
mulai berkurang. Hal ini disebabak karena kurangnya pengembangan dan perhatian
pemerintah setempat untuk melestarikan dan memberikan keterampilan yang baik
kepada mereka. Menurut hemat penulis, jika hal ini mendapat perhatian dari
pihak pemerintah maka akan memberikan sumbangsi wisata pagi pemerintah daerah
setempat.
Bersambung...........................
[1] Bdk. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, edisi revisi 2009), Hlm. 146
[2] Bdk. Ibid. hlm. 165
[3] Harimurti Kridalaksana, “Bahasa”
dalam Kamus Linguistik, (Jakarta: PT
Gramedia, 1993).
[4] Bdk. Aslinda dan Leni Syafyahya,
Pengantar Sosiolinguistik, cetakan
kedua (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 1.
[5] Agung Tri Haryanta dan Eko
Sujatmiko, “Bahasa Balantak” dalam Kamus
Sosiologi, cet.1 (Surakarta: Aksara Sinergi Media, 2012)
[6] Hildred Geertz, Indonesian
Cultures and Communities, terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial dan FIS-UI, 1981), hlm. 114.
Thanks sob bacaan pagi ini, kira2 dimana bisa didapatkan bukux.
BalasHapusijin share yah...
http://tongke1.blogspot.com
I need your help ka, dimana sy bisa tau kelanjutan dari artikel ini?
BalasHapusDimana sy bisa dapat buku ini?
BalasHapus