Catatan:
Bpk. RAF KASIH adalah salah seorang tokoh pemerhati budaya Balantak. Dalam
tulisannya, beliau mendeskripsikan secara umum tentang “Sumawi” dan bagaimana
ritual tersebut dilaksanakan. Beliau saat ini sedang bekerja di Kantor
Departemen Keuangan. Beliau selalu mendorong dan memotivasi agar “anak negeri”
suku Balantak mau menggali nilai-nilai luhur budaya Balantak. Semoga tulisan
yang singkat, padat dan jelas ini dapat memberikan pemahaman kepada kita mengenai
masyarakat Suku Balantak yang entah sudah “terlupakan atau memang dilupakan”.....
SUMAWI: Ritual Mimbolian dalam tradisi suku Balantak
(Bpk. Raf Kasih)
Sumawi merupakan bagian dari ritual
Mimbolian. Sumawi dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dari 5 sub suku
Balantak, yakni Lo’on, Bula, Ruurna, Batu Biring, Nggoube. Masing-masing subsuku
tersebut mengutus seorang Bolian
utama sebagai pelaksana kolektif pada satu tempat yang disepakati. Terakhir Sawian di Utun. Di lokasi sumawi dibuat bangsal utama yang disebut
saroa' (sebagai pusat kegiatan). Di
dalam rumah/bangsal saroa diadakan kegiatan
ritual antara lain Pelarungan segala bencana yang pernah dialami (akibat dosa),
bertanya kepada para dewa, tembenuat (arwah
para leluhur), mimulos serta sumawi. Ritual sumawi dibimbing oleh para bolian dengan menunjuk seseorang sebagai
Lotu'. Lotu’ bisa lebih dari 1 orang. Acara Sumawi dapat dihadiri oleh siapa
saja dan tidak terbatas jumlahnya. Ketika Sumawi
dimulai maka Lotu’ yg bertindak
sebagai “dirigen”, krn sumawi dilakukan dengan menyanyi dan menari. Semua lagu
dan syairnya dimulai dari Lotu' yang kemudian
diikuti oleh peserta yang hadir. Semua syair yang disampaikan oleh Lotu menggambarkan refleksi yang yang
dialami kurun waktu dari sawian
sebelumnya yakni keadaan saat ini, dan
prediksi masa depan. Syair-syair tersebut dilantunkan sesuai “hitungan waktu
semalam” hingga pagi. Misalnya, syair refleksi masa lalu dilantunkan sebelum
tengah malam, syair masa sekarang dilantunkan antara jam 11 malam hingga pukul
2 subuh. Sedangkan syair yang melukiskan tentang masa depan dilantunkan mulai
jam 2 subuh hingga subuh. Saat mentari menyingsing di ufuk timur maka syair-syair
yang dilantunkan bernuansa keindahan dan kebangkitan. Menurut mantan Lotu (Yos Lageso), syair-syair dalam sumawi tidak boleh dilantunkan
sembarangan dan hanya boleh dilantunkan pada saat sumawi saja. Menurut kepercayaan suku Balantak, bila syair-syair
dalam sumawi dilantunkan di luar
ritual maka akan berdampak buruk (dapat berupa sakit, gempah, angin ribut dan
lain-lain) karena ada keterlibatan langsung dengan para dewa ketika melantunkan
syair-syair tersebut. Syair-syair tersebut memakai bahasa yang berestetika
tinggi. Karena begitu luhur dan tingginya bahasa tersebut maka para tokoh adat
sangat menjaga dan memelihara warisan budaya tersebut.
[Mengenai “Sumawi” akan dibahas secara
mendetail dalam buku “Suku Balantak: Sejarah, Kebudayaan dan Filsafatnya” oleh M. Muharli Mua, S.Fils]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar